Minggu, 12 Juli 2009

PERTOBATAN SEJATI DR. JOHN SUNG

oleh Dr. R. L. Hymers, Jr.
“Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?” (Markus 8:36).

4 Juni 2009 ditandai peringatan kedua puluh dari “Peristiwa Pembantaian Tiananmen” (“Tiananmen Square Massacre”). Selama enam minggu pada tahun 1989, ribuan orang China, kebanyakan para mahasiswa, mengadakan demonstrasi damai melawan pemerintahan Komunis, untuk menyerukan kebebasan berpikir. Kemudian, pada suatu pagi tanggal 4 Juni, pasukan pemerintah secara terbuka menembaki ribuan demonstran yang tidak bersenjata, ribuan dan tak terhitung jumlahnya orang terbunuh dan ribuan orang yang masih hidup lainnya terluka. Hong Yujian menyaksikan kekerasan yang terjadi di Beijing itu melalui siaran televisi ketika ia ada di University of Pennsylvania sebagai pertukaran mahasiswa. Ia berkata bahwa Pembantaian Massa Tiananmen membuat dia menanyakan pengharapannya dalam bidang sains dan demokrasi dan kemudian memimpinnya menjadi orang Kristen.
Ia berkata pembantaian massa di Tiananmen menolong dia dan yang lain untuk melihat dosa mereka sendiri dan kebutuhan mereka akan Kristus: “Saya berpikir Allah menggunakan ini untuk mempersiapkan jalan dan mempersiapkan hati masyarakat China” (World Magazine, June 6, 2009, p. 38).
World Magazine menjelaskan,
Terjadi ledakan tingkat pertumbuhan Kekristenan di China selama 20 tahun terakhir ini. Para ahli menyatakan urbanisasi dan pertumbuhan jumlah dari para pemikir berpengaruh yang yang percaya Kristus meningkat dengan cepat. OMF International (dulunya China Inland Mission) memperkirakan ada 70 juta orang Kristen di China. Padahal kelompok yang mengatakan sebagai orang Kristen Protestan di China berjumlah kurang dari 1 juta pada tahun 1949 [ketika pemerintah Komunis mulai berkuasa] (ibid.).
Dr. C. L. Cagan, seorang ahli statistik, memperkirakan bahwa sekarang kira-kira ada 700 orang bertobat menjadi Kristen setiap jamnya, dalam 24 jam per hari, di China.
Sejarah Kekristenan di China seharusnya sangat menarik perhatian orang-orang Kristen dimanapun mereka berada. Gerakan misionaris modern di China dapat dikatakan mulai dengan Robert Morrison (1782-1834). Morrison diutus ke China oleh London Missionary Society pada tahun 1807. Dibantu oleh rekan kerjanya, William Milne, ia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa China pada tahun 1821. Setelah 27 tahun ada di China hanya beberapa orang China yang dibaptis – namun mereka semua adalah orang-orang Kristen yang setia. Alkitab terjemahan bahasa China karya Morrison, dan juga literatur-literatur penginjilan yang ia cetak, menjadi dasar Kekristenan evangelikal di China.
Pada tahun 1853 seorang dokter medis Inggris, James Hudson Taylor, berlayar ke China. Pada tahun 1860 ia mendirikan China Inland Mission, yang sekarang dikenal dengan nama Overseas Missionary Fellowship. Rekanan Taylor dengan cepat tersebar ke seluruh pedalaman China. Hudson Taylor meninggal di Changsha pada tahun 1905.
Pada tahun 1901 John Sung lahir. Ia menjadi terkenal sebagai penginjil terbesar dalam sejarah China. Ribuan orang yang bertobat melalui khotbahnya masih setia kepada Kristus setelah Komunis mulai berkuasa pada tahun 1949. Pada 60 tahun terakhir terjadi ledakan jumlah orang Kristen di China dalam kebangunan rohani Kekristenan terbesar pada sejarah modern. Malam ini saya akan menceritakan kepada Anda kisah yang luar biasa dari Dr. John Sung. Saya akan mulai dengan memberikan garis besar kehidupannya dari Dr. Elgin S. Moyer.
John Sung (1901-1944), penginjil China yang terkenal secara nasional; lahir di Hinghwa, Fukien, China; anak seorang pendeta Methodist. Mengakui Kristus kira-kira pada umur sembilan tahun [?]. Mahasiswa yang brilian; kuliah di Wesleyan University, Ohio State University, dan Union Theological Seminary. Menerima gelar Ph.D. dalam bidang ilmu kimia. Kembali ke China untuk memberitakan Injil daripada mengajar sains. Menghabiskan lima puluh tahun hidupnya untuk memberitakan injil di seluruh China dan Negara-negara sekitarnya dengan kuasa dan pengaruh yang unik (Elgin S. Moyer, Ph.D., Who Was Who in Church History, Moody Press, 1968 edition, hal. 394).
Itu hanyalah sketsa tentang kehidupan John Sung. Kembali ke dalam biografi yang lebih detail, saya tidak percaya bahwa ia bertobat pada waktu ia berumur sembilan tahun. Saya tidak percaya bila ia bertobat sebelum Pebruari 1927.
John Sung sendiri percaya bahwa ia belum bertobat sampai ia melewati beberapa tahun krisis rohani di Amerika. Ketika ia berumur sembilan tahun ada kebangunan rohani di Hinghwa. Pada bulan itu kira-kira ada 3,000 orang Kristen yang masih belum sungguh-sungguh bertobat. Pada Jum’at Agung pagi ia mendengar khotbah tentang ”Yesus di Taman Getsemani.” Pengkhotbah pada waktu itu membandingkan para Murid yang sedang tidur dengan keberanian Yesus. Banyak orang menangis dengan dukacita mendalam di akhir khotbah itu. Di antara orang-orang yang menangis itu adalah John Sung, seorang bocah berumur sembilan tahun dan anak lelaki seorang pendeta Methodis. Yang nampak bagi saya bahwa John Sung “mempersembahkan” hidupnya kepada Kristus namun belum sungguh-sungguh bertobat pada waktu itu. Sebagaimana pendeta pendahulu saya, Dr. Timothy Lin (yang ayahnya juga adalah seorang pendeta), John Sung mulai berkhotbah dan membantu ayahnya sebelum umur tiga belas tahun. Namun, juga seperti Dr. Lin, ia belum mengalami pertobatan sejati pada waktu itu. Ia adalah siswa yang rajin dan menyelesaikan sekolah menengah atasnya dengan prestasi terbaik di kelasnya. Pada waktu itu ia menjadi terkenal sebagai “pendeta cilik.” Namun kendati semua aktivitas hatinya dan semangatnya tidak semuanya memuaskan. Pekerjaan yang ia telah lakukan dalam pelayanannya digambarkan “sama spektakulernya dengan birunya bulu burung pekakak, suburnya seperti daun-daun pada musim panas, namun tanpa satupun buah segar untuk diberikan kepada Tuhan Yesus” (Leslie T. Lyall, A Biography of John Sung, China Inland Mission, 1965 edition, hal. 15).
Pada tahun 1919, Sung, yang pada waktu itu berumur 18 tahun, pergi ke Amerika, dan diterima di Ohio Wesleyan University dengan memperoleh beasiswa. Ia mulai mengambil kelas pra-medis dan pra-teologikal, namun berhenti dari mata kuliah pra-teologikal dan memutuskan untuk mengambil spesialis dalam bidang matematika dan kimia. Ia menghadiri kebaktian secara rutin dan mengorganisir kelompok-kelompok penginjilan di kalangan mahasiswa. Namun akhirnya ia mulai menolak belajar Alkitab dan berdoa, dan berbuat curang pada salah satu dari makalah-makalah ujiannya. Ia tamat pada tahun 1923 dengan predikat cum laude, sebagai salah satu dari empat mahasiswa paling berprestasi dari tiga ratus mahasiswa. Ia dianugerahi medali emas dan uang tunai untuk bidang fisika dan kimia, dan terpilih untuk menjadi anggota Phi Beta Kappa Fraternity, suatu masyarakat ekslusif dari para sarjana terkemuka, dan diberikan kunci emas, suatu lencana istimewa dalam ilmu pengetahuan.
Ia ditawari beasiswa dari banyak universitas, termasuk Harvard. Ia menerima beasiswa untuk program Master of Science di Ohio State University. Ia menyelesaikan program ini hanya dalam sembilan bulan! Ia ditawari beasiswa untuk belajar medis di Harvard. Ia juga diberi penawaran lain untuk belajar di seminari. Ia merasa bahwa ia harus belajar teologi, namun ketenaran yang menghampirinya menumpulkan keinginannya untuk menjadi hamba Tuhan. Oleh sebab itu akhirnya ia masuk program doktoral bidang kimia di Ohio State University. Ia menyelesaikan program Ph.D. dalam waktu hanya duapuluh satu bulan! Kemudian ia menjadi orang China pertama yang menyandang gelar Ph.D. Ia dilukiskan dalam surat kabar sebagai “mahasiswa paling terkenal dari Ohio.” “Namun dalam hatinya yang paling dalam ia tidak memiliki damai sejahtera. Kegelisahan rohaninya mulai tumbuh dalam periode-periode pergumulan yang mendalam” (Lyall, ibid., hal. 22).
Pada waktu itu ia berada di bawah pengaruh teologi liberal, dan pengajaran mereka tentang “injil sosial.” Teologi liberal mengajarkan bahwa Yesus adalah sosok teladan yang agung, namun bukan Juruselamat. Nampak bagi saya bahwa John Sung berpikir tentang Yesus sebagai “teladan agung” ketika ia masih berumur sembilan tahun, dan karena alasan itulah ia masih memiliki pertobatan yang palsu pada waktu itu. Namun Allah masih memanggil dia. Suatu malam ketika ia duduk sendirian ia seakan mendengar suara Tuhan yang berkata kepadanya, “Apa untungnya ini bagi seseorang, jika ia memperoleh seluruh dunia, namun kehilangan jiwanya sendiri?”
Hari berikutnya ia berbicara dengan seorang professor Methodis liberal. Ia menceritakan kepada professor itu bahwa sesungguhnya ia datang ke Amerika untuk belajar teologi. Profesor itu menantang dia untuk pergi ke New York untuk studi agama di sebuah seminari yang sangat liberal yaitu Union Theological Seminary. Dengan hanya sedikit keraguan ia memutuskan untuk pergi. Di Union Theological Seminary ia diberi beasiswa penuh dan pinjaman bantuan untuk penghidupan. Kemudian ia berkata bahwa ia tidak tertarik untuk melayani, namun hanya ingin belajar teologi saja selama setahun untuk menyenangkan ayahnya, dan kemudian kembali ke karir saintifiknya. Hatinya penuh dengan hura-hura dan gelap.
Pada musim gugur tahun 1926 Dr. John Sung mendaftar di Union Theological Seminary. Dr. Henry Sloane Coffin seorang yang sangat liberal baru saja menduduki jabatan sebagai rektor seminari itu. Di antara dosen-dosen yang sangat liberal di seminari itu salah satunya adalah Dr. Harry Emerson Fosdick, seorang penulis beberapa buku yang menyerang Fundamentalisme, seperti misalnya bukunya yang berjudul “The Modern Use of the Bible” dan “The Manhood of the Master.” Ceramahnya yang paling terkenal adalah “Shall the Fundamentalists Win?” (1922). Ia berkhotbah menentang kebangkitan tubuh Kristus dan kebenaran Alkitab setiap minggu pada program radionya. Seminari ini adalah ranjang hangatnya para pengkritik Alkitab dan penolakan terhadap teologi evangelikal. “Segala sesuatu yang tertulis di dalam Alkitab tidak dapat dibenarkan secara saintifik dan ditolak sebagai hal yang tidak layak untuk dipercaya! Kitab Kejadian memberikan catatan yang tidak sesuai dengan sejarah dan kepercayaan terhadap berbagai mujizat adalah hal yang tidak bersifat saintifik. Secara historis Yesus dipresentasikan sebagai teladan yang ideal, sementara nilai dari pengantian penebusan melalui kematian-Nya dan kebangkitan fisikal-Nya diingkari. Doa dianggap sebagai sesuatu yang bernilai subyektif. [Tidak menyetujui] hal ini akan dipandang sebagai obyek ejekan atau olok-olok” (Lyall, ibid., hal. 29-30).
Dr. Sung menenggelamkan diri dalam studi teologi liberalnya dengan segala kemampuan inteleknya. Pada tahun itu ia memperoleh nilai-nilai tertinggi, namun berpaling dari Kekristenan sama seperti ketika dulu ia mempelajari Budhisme dan Taoisme. Ia mulai menyanyikan kitab-kitab suci Budha dalam meditasi di kamarnya, dan berharap melalui penyangkalan diri akan membawanya memperoleh damai sejahtera. Ia menulis, ”Jiwaku mengembara di padang gurun.”
Dalam keadaan pikiran ini ia menjadi bersahabat dekat dengan teman-teman sekelasnya dari China, namun faktanya bahwa ia pernah ditunangkan dengan seorang gadis di China yang kemudian ia memutuskan hubungan itu. Hidupnya menjadi berantakan. Ia menulis, “Saya tidak dapat tidur ataupun makan… Hati saya dipenuhi dengan kegalauan yang paling dalam.” Para pejabat di Seminari itu memperhatikan bahwa ia ada dalam keadaan depresi terus menerus.
Dalam keadaan emosional ini ia pergi bersama dengan para mahasiswa lainnya untuk mendengarkan khotbah Dr. I. M. Haldeman, seorang pendeta fundamentalis dari First Baptist Church of New York City. Dr. Haldeman terkenal dengan pernyataannya, “Ia yang mengingkari kelahiran Kristus dari anak dara sama dengan mengingkari Kekristenan Alkitabiah.” Dr. Haldeman pernah ada dalam konflik langsung dengan Harry Emerson Fosdick dan Union Theological Seminary. John Sung pergi untuk mendengar ia berkhotbah oleh karena prasangka. Namun Dr. Haldeman tidak berkhotbah malam itu. Sebaliknya ada seorang gadis berumur lima belas tahun memberikan kesaksiannya. Ia membacakan Kitab Suci dan berbicara tentang kematian Kristus di kayu salib sebagai penggantian penebusan. Sung berkata bahwa ia dapat merasakan kehadiran Allah. Rekan-rekannya dari Seminari itu mengejek dia, namun ia sendiri kembali ke kebaktian penginjilan itu empat malam berturut-turut.
Ia mulai membaca biografi-biografi Kristen untuk menemukan kekuatan apa yang ia rasakan pada saat di kebaktian penginjilan itu. Pada satu sesi di Seminari itu, seorang dosen berbicara dengan keras menentang penggantian penebusan dari kematian Kristus di kayu Salib. John Sung berdiri di akhir pelajaran itu dan mendebat dia dan semua mahasiswa terkejut akan tindakannya itu. Akhirnya, pada tanggal 10 Pebruari 1927 ia mengalami pertobatan sejati. “Ia melihat semua dosa dari hidupnya terbentang di depannya. Pertama yang ia lihat adalah bahwa tidak ada jalan untuk luput dari semua itu dan bahwa ia harus pergi ke Neraka. Ia mencoba untuk melupakan semua itu, namun ia tidak dapat. Kesadaran akan dosa itu menusuk hatinya… Ia membaca kisah tentang Salib dalam Lukas xxiii, dan ketika ia membaca kisah itu begitu hidup.. ia merasa seakan ada di sana di bawah Salib itu dan percaya dosa-dosanya disucikan oleh darah yang mahal itu...Ia terus menangis dan berdoa sampai tengah malam. Kemudian ia [seolah mendengar] suara, ‘Nak, dosa-dosamu telah diampuni,’ dan semua beban dosanya nampak jatuh dari pundaknya pada waktu itu… ia melompat sambil berseru ‘Haleluya!’” (Lyall, ibid., hal. 33-34). Ia berlari sambil bersorak dan memuji Tuhan sambil berkeliling asrama itu. Ia mulai berbicara kepada setiap orang tentang kebutuhan mereka akan Kristus, termasuk kepada teman-teman sekelasnya dan para pengajar di Seminari itu.
Rektor Seminari itu berpikir bahwa ia telah kehilangan kesadarannya karena usaha belajarnya yang terlalu dipaksakan, dan mengalami psikopat dan mereka memasukkannya ke rumah sakit jiwa. Ia menghabiskan enam bulan di rumah sakit jiwa itu. Selama waktu itu ia membaca Alkitab dari permulaan sampai akhir empat puluh kali. “Rumah sakit jiwa itu justru menjadi perguruan tinggi teologi sejati John Sung!” (Lyall, hal. 38). Ia akhirnya menyadari pada kondisi itu bahwa ia harus kembali ke China. John Sung telah memutuskan hubungannya dengan Union Seminary ketika ia membakar buku-buku teologinya, dengan menyebutnya sebagai “buku-buku setan.” Union Seminary tidak pernah menjadi bangga berkenaan dengan hubungan mereka dengan penginjil terbesar dalam sejarah China itu.
Pada perjalanannya kembali ke China ia tahu bahwa ia dapat dengan mudah memperoleh kedudukan sebagai professor kimia di beberapa Universitas di China. “Suatu hari, ketika kapal yang ditumpanginya sudah mendekat ke tujuan perjalanannya, John Sung turun ke kabinnya, mengambil ijazah-ijazah dan medali-medali serta tanda keanggotaannya dalam organisasi-organisasi saintifik terkenal dan membuang semua itu ke laut. Semua ijazahnya tak tercuali ijazah doktornya, yang telah ia perjuangkan demi menyenangkan ayahnya” (Lyall, hal. 40).
Dr. John Sung turun dari kapal itu di Shanghai pada waktu musim gugur tahun 1927, untuk menjadi penginjil paling terkenal dalam sejarah China. Ia sering dijuluki “Wesley dari China.” John Sung menjadi pengkhotbah Injil yang penuh kuasa. Puluhan ribu orang bertobat. Ia juga pernah berkhotbah di Burma, Kamboja, Singapura, Indonesia dan Filipina. Ia selalu berkhotbah dengan seorang penerjemah, bahkan di China. Seperti Whitefield, John Sung secara pribadi memberikan konseling kepada kebanyakan mereka yang telah meresponi khotbahnya. “Orang-orang Kristen di China dan Taiwan hari ini berhutang banyak kepada pelayanan Sung; ia adalah salah satu karunia terbesar Tuhan bagi Timur Jauh pada abad dua pulu (T. Farak, in J. D. Douglas, Ph.D., Who’s Who in Christian History, Tyndale House, 1992, hal 650)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar